KAWASAN EKONOMI KHUSUS (KEK) PARIWISATA TANJUNG LESUNG PROPINSI BANTEN - FOR BISNIS PLAN FREE TRADE ZONE
Memasuki era globalisasi, orang semakin terbiasa dengan kehadiran pasar bebas. Hal ini tak mengherankan karena memang salah satu karakteristik globalisasi adalah memudarnya batas-batas wilayah kenegaraan secara ekonomi. Dalam jangka panjang, pasar bebas akan membawa manfaat berupa arus perdagangan yang lebih lancar, pasar yang lebih luas serta skala ekonomi yang sedemikian besar sehingga menghasilkan alokasi sumber daya yang rasional dan meningkatnya efisiensi. Namun dalam jangka pendek, ternyata pasar bebas juga dapat menimbulkan masalah bagi negara yang kurang siap bersaing. Hal ini memang sudah disadari sejak pertama kali didengungkan pembentukan pasar bebas. Batam, selaku kota industri yang terkemuka di Asia Pasifik saat ini, telah lama memikirkan akibat-akibat yang ditimbulkan globalisasi ekonomi terhadap kinerja pertumbuhan Batam. Sebagai barometer pertumbuhan ekonomi nasional, Batam secara signifikan harus mampu memperbaiki kinerjanya dalam meningkatkan jumlah investasi dan pertumbuhan ekonominya.
Jika sepintas dilihat memang FTZ dan AFTA ada kesamaan kata namun dalam prakteknya mempunyai perbedaan yang mendasar. AFTA lebih ditekankan pada upaya untuk mengurangi hambatan perdagangan baik tarif maupun non tarif. Salah satu hambatan perdagangan yang akan dikurangi dalam konsep ini, adalah tarif bea masuk hingga mencapai 0 persen sampai 5 persen. Jika Indonesia tak siap, maka akan berakibat pada membanjirnya produk luar negeri yang mempunyai kualitas dan harga bersaing ini yang pada akhirnya bermuara pada terancamnya produk dalam negeri.
Konsep FTZ untuk Tanjung Lesung sendiri difokuskan pada upaya menarik investasi asing yang berorientasi Pariwisata. sektor pariwisata seperti ini mempunyai manfaat selain menghasilkan setoran pajak (PPh), menyerap tenaga kerja dan manfaat lainnya seperti menumbuhkembangkan industri lokal (UKM) yang menjadi mitra perusahaan PMA dan tumbuhnya industri jasa pendukung. pariwisata lokal, didaerah FTZ, tidak akan terganggu, karena produk dari PMA didaerah FTZ adalah untuk berorientasi ekspor sehingga tidak akan menyaingi ataupun mematikan produk lokal. Ditinjau dari prosedur ekspor dan impor, meskipun diberlakukan AFTA, prosedur ekspor impor tetap mengacu kepada prosedur bea cukai masing-masing Negara anggota. Sedangkan bagi wilayah yang ditunjuk sebagai FTZ yang memberikan insentif berupa pembebasan bea masuk, PPN dan PPnBM, maka prosedur ekspor dan impor yang harus dilalui menjadi lebih mudah dan cepat, karena tidak perlu melalui pemeriksaan yang berkaitan dengan pemungutan bea masuk, PPN dan PPnBm. Seperti di Batam yang selama ini telah berfungsi sebagai quasi FTZ, prosedur keluar masuk barang dapat dipangkas dari 25 proses menjadi 11 proses.
Munculnya usulan dari berbagai daerah untuk pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) itu bukan karena berpacu dengan ditetapkannya kebijakan pembangunan KEK di Batam, Bintan, dan Karimun yang ditindaklanjuti dengan pembentukan cluster industri. Ini juga bukan karena “ikut-ikutan” atau semacam euphoria daerah yang merasa memiliki kompetensi. Yang patut disadari dan diperhatikan adalah kapasitas SDM (Sumber Daya Manusia) dan infrastruktur fisik yang mendukungnya.
Sesungguhnya yang dibayangkan adalah bahwa formasi pengembangan daerah tidak berarti lepas sepenuhnya dari tangan pemerintah pusat. Idealnya inisiatif dan kreativitas pengembangan masing-masing daerah diberi jalan sesuai dengan potensi daerahnya, sementara daerah juga tidak bisa menafikan kewenangan pusat dalam hal hal tertentu, artinya, pemerintah pusat lewat departemen departemennya masih memiliki wewenang dalam berkoordinasi memberi arahan dalam tugas tugas daerah daerah tertentu.
Kawasan ekonomi yang dimaksud selayaknya berada dalam pelaksanaan program nasional sebagai negara kepulauan, yakni adanya pengakuan atas eksistensi organisasi pemerintah nasional (Bappenas) sebagai lembaga yang berwewenang mengatur strategi pembangunan nasional, penciptaan kemandirian entitas publik lokal berdasarkan area geografiknya. Ini juga mewujudkan konsep citizens self government oleh warga di daerah itu sendiri masing-masing sesuai dengan pemberdayaan SDM (Sumber Daya Manusia) sebagai subjek pembangunan.
Di China, kegiatan ekonomi sejak eranya Deng Xiaoping (1978) bermula terpusat pada zona ekonomi khusus (special economic zones) di kawasan pantai China yang didirikan tahun 1979 dan kemudian disusul dengan pendirian open cities,(1984) kota-kota terbuka.
Dalam kawasan ini, pemerintah daerah mereka diberi wewenang perizinan, kejelasan fasilitas pajak untuk mengambil langkah-langkah menggerakkan pembangunan ekonomi daerah tanpa setiap kali meminta persetujuan pemerintah pusat.
Perusahaan di daerah tersebut dapat dan diizinkan langsung melakukan investasi sendiri dan mengambil keputusan dalam produksi dan pemasaran. Dalam zona ekonomi China ini, kepemilikan swasta dan investasi asing dilegalkan di daerah masing-masing. Di China itu, zona ekonomi dan open cities secara efektif menjadi model bagi pengembangan Barat.
Sesungguhnya yang dibayangkan adalah bahwa formasi pengembangan daerah tidak berarti lepas sepenuhnya dari tangan pemerintah pusat. Idealnya inisiatif dan kreativitas pengembangan masing-masing daerah diberi jalan sesuai dengan potensi daerahnya, sementara daerah juga tidak bisa menafikan kewenangan pusat dalam hal hal tertentu, artinya, pemerintah pusat lewat departemen departemennya masih memiliki wewenang dalam berkoordinasi memberi arahan dalam tugas tugas daerah daerah tertentu.
Kawasan ekonomi yang dimaksud selayaknya berada dalam pelaksanaan program nasional sebagai negara kepulauan, yakni adanya pengakuan atas eksistensi organisasi pemerintah nasional (Bappenas) sebagai lembaga yang berwewenang mengatur strategi pembangunan nasional, penciptaan kemandirian entitas publik lokal berdasarkan area geografiknya. Ini juga mewujudkan konsep citizens self government oleh warga di daerah itu sendiri masing-masing sesuai dengan pemberdayaan SDM (Sumber Daya Manusia) sebagai subjek pembangunan.
Di China, kegiatan ekonomi sejak eranya Deng Xiaoping (1978) bermula terpusat pada zona ekonomi khusus (special economic zones) di kawasan pantai China yang didirikan tahun 1979 dan kemudian disusul dengan pendirian open cities,(1984) kota-kota terbuka.
Dalam kawasan ini, pemerintah daerah mereka diberi wewenang perizinan, kejelasan fasilitas pajak untuk mengambil langkah-langkah menggerakkan pembangunan ekonomi daerah tanpa setiap kali meminta persetujuan pemerintah pusat.
Perusahaan di daerah tersebut dapat dan diizinkan langsung melakukan investasi sendiri dan mengambil keputusan dalam produksi dan pemasaran. Dalam zona ekonomi China ini, kepemilikan swasta dan investasi asing dilegalkan di daerah masing-masing. Di China itu, zona ekonomi dan open cities secara efektif menjadi model bagi pengembangan Barat.
Sementara itu Menteri Pariwisata dan Ekonomi mari elka pangestu , KEK PARIWISATA TANJUNG LESUNG telah di tandatangani Untuk pariwasata dan akan bertanggung jawab dalam mendukung pengembangan KEK.dan program tersebut bisa dilaksanakan secepatnya.
Comments