Antara Kesultanan Banten dan Kesultanan Deli
Melihat-lihat bangunan Istana Maimun (Maimoon) di Medan, Sumatera Utara yang masih berdiri tegak mengingatkan penulis kepada Keraton Surosowan dan Kaibon di Banten. Bangunan peninggalan Kesultanan Deli yang dibangun tahun 1888 sampai sekarang masih utuh dan masih ditempati keturunannya. Tak beda seperti di Banten, bangunan ini menjadi salah satu objek wisata di Medan. Sayangnya bangunan indah yang meniru arsitektur Eropa dan India itu tidak terurus hingga beberapa bagian bangunan itu kelihatan rusak.
Menurut warga Medan kondisi memprihatinkan seperti itu sudah lama dibiarkan Pemkot Medan akibat banyak pihak yang mengaku sebagai pewaris bangunan tersebut. Dampak dari perselisihan antara keturunan Sultan Deli membuat banyak pihak harus mengurut dada. Mereka sedih melihat pertikaian yang tak kunjung rampung di antara pewaris Kesultanan Deli.
Padahal istana itu menjadi landmark-nya Kota Medan yang dikenal sebagai kota terpadat ke-3 di Indonesia. Penduduknya lebih dari 2 juta jiwa terdiri dari etnis Cina, India dan Melayu yang mendiami kota itu sejak tahun 1870. Minyak dan perkebunan membuat kota di Sumatera Utara itu menjadi ramai.
Kenapa diberi nama Istana Maimun? Nama ini diberikan Sultan Deli mengambil nama permaisurinya yang cantik jelita. Sebagai tanda kasih sayang, Sultan memberi nama istana itu Istana Maimun.
Sultan Deli dianggap sebagai keturunan Muhammed Dalek Sri Paduka Gocah Pahlawan, seorang bangsawan keturunan India. Sultan ini ditunjuk Sultan Aceh pada tahun 1630 sebagai gubernur dan penguasa pertama di wilayah Deli. Dan pada tahun 1770, Deli dikuasai Sultan Siak yang kemudian menganugerahkan gelar penuh sebagai Sultan Panglima Mangidar Alam Syah kepada Raja Deli. Keluarga kerajaan ini memiliki hubungan karena perkawinan dengan keluarga kerajaan Melayu di Malaysia.
Di halaman istana yang cukup luas, terdapat sebuah balai terbuka yang mirip rumah adat Batak Karo. Ternyata di dalam bangunan itu terdapat sebuah meriam kuno yang diberi nama meriam si Puntung. Meriam ini dipercaya penduduk memiliki kaitan dengan legenda Puteri Hijau, pahlawan perang Deli ketika melawan Aceh abad ke-XVI. Konon Puteri Hijau ketika itu dikabarkan berasal dari daratan tinggi Karo. Hingga Deli dianggap memiliki hubungan dekat dengan masyarakat Batak Karo.
Meriam si Puntung sebenarnya memiliki nama indah, yaitu Indera Sakti yang menurut legenda adalah salah satu dari dua bersaudara laki-laki dari keturunan Puteri Hijau. Saudara yang satunya lagi menjelma menjadi naga yang pernah membantu dalam pertempuran melawan Aceh. Legenda ini mirip legenda Dewi Hijau yang terdapat di Madras, India Selatan.
Mesjid Raya Medan
Tak jauh dari Istana Maimun terdapat bangunan kuno
Mesjid Raya Medan atau lazim pula disebut Mesjid Raya Al Mashun. Tempat ibadah ini tampak anggun dengan beberapa kubah berwarna hitam di tengah-tengah bangunan. Termasuk mesjid di tanah air yang unik, indah dan menarik di pandang mata. Dulu menurut catatan sejarah, mesjid ini menjadi satu bagian dengan Istana Maimun. Akibat perkembangan kota yang pesat, hingga tak dapat dihindari pembangunan jalan raya Brigjen Katamso yang memisahkan kedua bangunan tersebut.
Mesjid Raya Medan atau lazim pula disebut Mesjid Raya Al Mashun. Tempat ibadah ini tampak anggun dengan beberapa kubah berwarna hitam di tengah-tengah bangunan. Termasuk mesjid di tanah air yang unik, indah dan menarik di pandang mata. Dulu menurut catatan sejarah, mesjid ini menjadi satu bagian dengan Istana Maimun. Akibat perkembangan kota yang pesat, hingga tak dapat dihindari pembangunan jalan raya Brigjen Katamso yang memisahkan kedua bangunan tersebut.
Mesjid Raya Al Mashun memiliki banyak pilar yang melengkung di bagian atasnya dengan bentuk yang mengesankan. Menurut para arkeolog, bangunan ini arsitekturnya meniru gaya yang ada di Timur Tengah, India dan Spanyol. Dari percampuran arsitektur tersebut, lahirlah bentuk tempat ibadah yang berupa bangunan utama di tengah dengan empat bangunan sayap. Bangunan utama berbentuk segi delapan dan empat bangunan sayapnya menempel di bagian selatan, timur, utara dan barat. Seluruh bangunan ini memiliki luas sekitar 5.000 m2. Kubahnya berjumlah 5 buah, berbentuk segi delapan dan agak gepeng. Yang paling besar berada di tengah dan yang lain berada di sekitarnya.
Mesjid ini dibangun Sultan Makmun Al Rasyid Perkasa Alamsyah. Peletakan batu pertamanya dilakukan pada tanggal 21 Agustus 1906. Sebagian materialnya didatangkan dari Italia. Sedangkan lonceng dan lampunya dari Jerman. Proses pembangunannya makan waktu sampai 3 tahun.
Melihat-lihat keramaian Kota Medan yang penuh dengan transportasi umum khas becak motor, penulis merasa bersyukur masih bisa menyaksikan beberapa bangunan kuno peninggalan kolonial Belanda. Misalnya di sepanjang jalan Soekarno-Hatta dan A.Yani terdapat banyak bangunan gaya Eropa, seperti Bank Indonesia, Balai Kota dan Kantor Pos. Kemudian terdapat pula bangunan tempat tinggal seorang warga Cina kaya raya bernama Tjong A Fie. Pembangunan gedung-gedung kuno ini mengingatkan warga Medan yang pernah dipimpin Walikota Baron Mackay tahun 1926.
Kecintaan warga Medan terhadap bangunan-bangunan kuno peninggalan kolonial Belanda dibuktikan, ketika kompleks Walikota Medan dibangun gedung-gedung pencakar langit, warga mempertahankan gedung tua Balai Kota yang terancam di gusur. Tampaknya warga kota di sana sadar, bahwa bangunan tua peninggalan kolonial itu sebagai benda cagar budaya yang dilindungi UU No.5 tahun 1992.
Keraton Surosowan
Meski Keraton Surosowan dan Kaibon tidak utuh lagi seperti Istana Maimun, tetapi kunjungan wisatawan yang datang ke lokasi peninggalan purbakala Banten Lama jauh lebih banyak ketimbang kunjungan wisatawan ke kompleks Kesultanan Deli. Sayangya Pemkab Serang belum mau memanfaatkan objek wisata ini sebagai salah satu sumber pendapatan PAD. Padahal pemugaran terhadap peninggalan purbakala ini terus dilakukan, tetapi siapa yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan dan pemeliharaan bangunan bersejarah itu tidak jelas. Akibatnya lingkungan menjadi kumuh dan sampah berserakan dimana-mana.
Serang sebagai Ibukota Provinsi Banten tampaknya sulit menghindari pembangunan gedung-gedung baru. Setelah pembangunan Rau Trade Center, pasar tradisional berlantai tiga, kota peninggalan kolonial Belanda ini akan memiliki pula pusat perbelanjaan Mal Serang berlantai lima. Sekarang rencana pembangunan gedung tersebut tengah diuji, apakah layak gedung megah sebesar itu dibangun di pusat kota yang padat lalu lintas.
Dan satu hal yang dititipkan warga Serang kepada penguasa daerah ini, bangunan modern boleh berdiri di tengah-tengah kota, tetapi jangan sampai bangunan kuno yang dilindungi Undang-Undang sampai tergusur lenyap
Comments